Hari Raya Siwaratri


Siwarâtri berarti malam renungan suci atau malam peleburan dosa. Hari Siwarâtri jatuh pada Purwanining Tilem ke VII (Kapitu), yaitu sehari sebelum bulan mati sekitar bulan Januari. Pada hari ini kita melakukan puasa dan yoga samadhi dengan maksud untuk memperoleh pengampunan dari Hyang Widhi atas dosa yang diakibatkan oleh awidya (kegelapan).
Ada 3 jenis Brata pada hari raya Siwarâtri terdiri dari:
  1. Utama, melaksanakan:
    1. Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
    2. Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
    3. Jagra (berjaga, tidak tidur).
  2. Madhya, melaksanakan:
    1. Upawasa.
    2. Jagra.
  3. Nista, hanya melaksanakan Jagra.
Hari Siwarâtri kadang kala disebut juga hari Pejagran. Karena pada hari ini Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), yang bermanifestasikan sebagai Siwa dalam fungsinya sebagai pelebur, melakukan yoga semalam suntuk. Karena itu pada hari ini kita memohon kehadapan-Nya agar segala dosa-dosa kita dapat dilebur.

Di dalam sastra agama Hindu (Lontar Lubdaka) yang ditulis oleh Mpu Tanakung mengenai pelaksanaan Siwarâtri ini disebutkan bahwa pertama-tama pada waktu pagi harinya kita mandi yang bersih dan metirtha dengan berpakaian yang bersih serta kemudian mulailah berpuasa tanpa makan dan minum dengan maksud untuk melatih mental agar mempunyai kekuatan dan daya tahan terhadap perasaan haus dan lapar. 

Kemudian pada waktu malam harinya dilanjutkan dengan sambang samadhi, yakni tidak tidur semalam suntuk dengan menenangkan pikiran sambil membaca kitab suci Weda, serta mengadakan pemujaan kehadapan Hyang Widhi untuk memohon pengampunan dan peleburan atas dosa-dosa yang kira perbuat pada hari-hari sebelumnya.

Pada malam Siwarâtri ini, setiap orang mendapat kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya (dosanya) dengan jalan melaksanakan brata Siwarâtri. Hal ini disebutkan dalam kitab Padma Purana, bahwa sesungguhnya malam Siwarâtri itu adalah malam peleburan dosa, yaitu peleburan atas dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang di dalam hidupnya. Demikian pula di dalam lontar Lubdaka dinyatakan bahwa sungguh pun orang itu sangat berdosa, bahkan yang paling berdosa sekalipun, masih mendapat kesempatan untuk melebur dosanya jika dia merayakan dan melaksanakan brata Siwarâtri.

Demikianlah yang dilukiskan dalam mithologi Lubdaka, Lubdaka adalah seorang pemburu binatang di hutan, pekerjaannya adalah memburu dan membunuh binatang yang dagingnya dimakan atau dijual. Begitulah pekerjaannya saban hari, hingga pada suatu hari dia kembali ke hutan untuk berburu. Namun sayang pada hari itu nasibnya lagi sial dan apes. Karena tidak ada seekor binatang pun yang didapatkannya. Malang baginya karena ingin mendapatkan binatang buruan, hinga dia lupa dengan waktu. Tak terasa hari telah menjelang senja dan sebentar lagi malampun tiba.

Dia bermaksud untuk pulang, namun karena sudah keburu malam dan haripun gelap gulita, akhirnya Lubdhaka memutuskan untuk menginap saja dihutan. Karena takut disergap binatang buas, maka dia berusaha mencari tempat ketinggian diatas pohon.
Lingga
Tak terasa kakinya melangkah pada sebuah pohon Bila. Yang mana dibawahnya terdapat air telaga yang bening, dengan sebuah pelinggih dan Lingga. Dia naik keatas pohon Bila kemudian bersandar. Untuk menghilangkan kantuknya dia memetik daun-daun Bila.
Karena jika ia tertidur diatas pohon tentu akan jatuh. Setangkai demi setangkai daun Bila itu dipetiknya dan dijatuhkannya kebawah. Sehingga mengenai Lingga yang ada dibawahnya.

Mungkin Lubdaka sendiri tidak menyadari bahwa pada hari itu adalah malam Siwarâtri di mana pada hari itu Siwa sedang beryoga. Sambil memetik daun Bila, dia mulai menyesali segala perbuatannya di masa-masa yang lampau.

Di sana kemudian dia berjanji dalam hatinya untuk menghentikan pekerjaannya sebagai seorang pemburu. Setelah begadang semalam suntuk pagi pun tiba, maka dia mulai berkemas-kemas untuk pulang.
Sejak hari itu dia berhenti beruru dan beralih profesi sebagai petani. Namun setelah itu dia mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Kemudian dikisahkan arwah Lubdaka melayang-layang diangkasa, tidak tahu jalan harus kemana. Selanjutnya datanglah pasukan Cikrabala membawanya pergi hendak dimasukkan kekawah Candragomuka yang berada di Neraka.

Pada saat itulah Dewa Siwa datang dan mencegat pasukan Cikrabala. Terjadi dialog yang sengit antara pasukan Cikrabala dengan Dewa Siwa. Pasukan Cikrabala bersikeras hendak membawa arwah Lubdaka ke Neraka. Karena dimasa hidupnya dia sering melakukan pembunuhan terhadap binatang hutan.

Namun Dewa Siwa menjelaskan bahwa Lubdaka sudah membuat penebusan dosa pada malam Siwarâtri, yaitu begadang semalam suntuk disertai dengan penyesalan akan dosa-dosanya di masa lampau. Sehingga dengan demikian dia berhak mendapatkan pengampunan. Maka demikianlah, singkat cerita Lubdaka dibawa ke Siwa Loka.
Selintas kilas apa yang termaktub dalam lontar Lubdaka tersebut, nampaknya berlawanan dengan Hukum 

Karmaphala sebagai salah satu keimanan dalam ajaran agama Hindu. Namun apabila kita renungkan secara mendalam, tidaklah demikian halnya. Karena Hukum Karmaphala tetap berlaku. Setiap perbuatan yang baik maupun yang buruk mesti akan membawa phala atau hasil (akibat) baik ataupun buruk pula. Sebagaimana yang dilukiskan oleh Mpu Tanakung tentang siksaan berat yang dialami dan diderita oleh 

Lubdaka ketika ia dihukum oleh para Ataka, yaitu rakyat Dewa Yama (Dewa Keadilan) sebagai phala dari hasil karma-nya yang ia lakukan semasih hidup. Akan tetapi siksaan itu berakhir karena mendapat pertolongan Dewa Siwa serentak setelah Lubdaka menyadari akan dirinya yang penuh dengan dosa dan segera berseru kepada istri, anak dan sanak familinya agar selalu berbuat baik dan bertobat kepada Hyang Widhi atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. Proses kesadaran ini pun sebagai akibat dari proses pencerahan yang pernah dialami oleh Lubdaka ketika ia masih hidup, yakni dari suasana hidup kegelapan sebagai pemburu yang amati-mati sato, berubah dengan serentak menjadi suasana hidup yang tenang setelah ia melaksanakan Siwarâtri, sadar dan bertobat serta selalu sujud kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

Dan kebetulan hari ini, 14 Januari 2010, adalah hari Siwarâtri yang merupakan hari keramat bagi umat Hindu dan hari terpenting bagi yang melaksanakan yoga atau meditasi, di mana saat ini diyakini sebagai malam peleburan dosa. Saya sendiri memaknai Siwarâtri sebagai malam yang keramat untuk menyucikan atau melebur diri dari berbagai kekotoran batin. 

Kekotoran batin yang saya maksudkan adalah kebodohan, kebingungan, kegelapan, ego ataupun perbuatan buruk yang telah dilakukan, intinya kekotoran batin itu adalah yang membelungu sang jiwa agar tetap eksis berada di dalam tubuh. Kenapa saya masih menggunakan perkataan “Peleburan Dosa”? Bukan penebusan ataupun pengapunan. Hal ini sesuai dengan tugas Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan yaitu sebagai “Pelebur atau Pemralina” seluruh ciptaan. Kemudian kata “Ratri” berarti malam, malam itu adalah kegelapan, kegelapan secara nyata (malam gelap) dan kegelapan batin. Jelas dalam spiritual kita akan lebih banyak mengulas tentang kegelapan batin yaitu “awidya” atau kegelapan yang menyelimuti diri kita.

Dalam kegelapan akan muncul kebodohan. Untuk menerangi kegelapan, kita akan membutuhkan cahaya, cahaya itu adalah kesadaran dan kesadaran murni itu adalah Siwa itu sendiri. Agar kebodohan menjadi pintar menjadi tahu dibutuhkanlah pengetahuan (spiritual) atau jnana, inilah ajaran beserta aturan (ajaran agama ) untuk membebaskan diri dari berbagai ikatan. Ajaran agama juga adalah ikatan adalah hukum yang mengikat, namun jadikan hukum agama untuk melepaskan diri dari ikatan maya, dimana telah dikatakan “ikatan yang terkuat adalah ikatan maya dan hanya yoga yang merupakan suatu kekuatan yang akan mampu melepaskan ikatan itu”. 

Siwa adalah Bapak Yoga Agung, pencetus Yoga dan tepat disaat hari raya Siwarâtri yang juga merupakan hari penghormatan kepada-Nya dalam wujud Siwa Lingga. Bagi pelaksana Yoga apalagi Yoga Kundalini (menyatukan Kundalini dengan Siwa) siapapun dia sepatutnya di hari Siwarâtri melakukan penghormatan pada Siwa, menyembah Siwa, menyembah Siwa Lingga, ataupun Linga Swayambhu Siwa sebagai kedudukan Kundalini. 

Janganlah berjalan di jalan spiritual menjadi seorang pencuri ataupun melupakan asal mula dari Yoga atau jangan menjadi kacang yang lupa akan kulitnya. Ini juga dinamakan “Durhaka”. 
Anda tidak mencuri dalam hal fisik tapi mencuri dalam hal lain tetaplah akan dikatakan sebagai pencuri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penjelasan Tentang Yadnya

Doa Memulai - Sesudah Bekerja

Catur Purusa Arta